Vendor Management dan Hal-hal Tabu dalam Dunia Logistik Indonesia
Mengungkap sisi tersembunyi dalam hubungan bisnis dan operasional rantai pasok nasional
19 April 2025
Vendor Management dan Hal-hal Tabu dalam Dunia Logistik Indonesia
Mengungkap sisi tersembunyi dalam hubungan bisnis dan operasional rantai pasok nasional
19 April 2025
Dalam dunia logistik modern, vendor management bukan sekadar hubungan bisnis, tetapi pilar penting dalam menjaga kelancaran operasional dan integritas rantai pasok. Namun, di balik sistem yang tampak rapi dan profesional, terdapat praktik-praktik tabu yang jarang dibahas—baik karena alasan reputasi, budaya bisnis, atau lemahnya sistem pengawasan.
Indonesia, sebagai negara kepulauan dengan kompleksitas distribusi tinggi, menghadapi tantangan unik. Vendor logistik bukan hanya penyedia layanan, tetapi bagian dari ekosistem yang menentukan efisiensi, kecepatan, dan kepatuhan hukum.
Vendor management adalah proses sistematis dalam memilih, mengontrak, mengelola, dan mengevaluasi kinerja vendor. Tujuannya adalah memastikan bahwa vendor memberikan layanan sesuai standar yang disepakati, serta mendukung tujuan strategis perusahaan.
Langkah-langkah utama vendor management:
Seleksi dan due diligence vendor
Negosiasi kontrak dan SLA (Service Level Agreement)
Monitoring kinerja dan kepatuhan
Evaluasi berkala dan tindak lanjut
Beberapa regulasi yang mendasari praktik vendor management di bidang logistik:
UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
UU No. 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi (untuk vendor logistik pembangunan)
UU No. 13 Tahun 2003 dan UU Cipta Kerja (2020) – Perlindungan pekerja, termasuk tenaga kerja vendor
Peraturan LKPP No. 12 Tahun 2021 – Panduan pengadaan barang/jasa di sektor publik dan BUMN
KUH Perdata (Pasal 1239) – Kewajiban pembayaran dalam perjanjian kontrak
Beberapa vendor logistik masih menghadapi tuntutan tidak resmi di pelabuhan, gudang, atau saat inspeksi jalan. Proses yang seharusnya transparan berubah menjadi transaksional.
📍 Kasus Nyata:
Tahun 2017, vendor ekspedisi di Pelabuhan Tanjung Priok diminta menyetor uang “percepatan” agar kontainernya tidak ditahan. Jika menolak, proses bisa tertunda hingga berminggu-minggu. Kasus ini gagal ditindak karena tidak ada pelapor resmi, meski terpantau oleh KPK.
Vendor outsourcing sering kali merekrut kurir tanpa memberikan perlindungan kerja layak. Sistem gaji berbasis volume paket membuat kurir harus kerja hingga 12 jam per hari, tanpa BPJS, THR, atau kontrak tetap.
📍 Contoh Viral:
Tahun 2021, kurir mitra vendor di Bekasi mengunggah keluhannya di media sosial—mengantar 150 paket/hari tanpa upah lembur. Viral, tapi vendor hanya dikenai teguran internal oleh kliennya, tanpa sanksi hukum.
Penggunaan vendor abal-abal dalam impor atau ekspor membuka celah penyelundupan. Barang palsu, elektronik ilegal, hingga tekstil tanpa label SNI pernah ditemukan menyusup lewat vendor logistik kecil.
📍 Kasus Batam-Jakarta (2019):
Vendor jasa impor melabeli barang branded palsu sebagai "komponen elektronik", sehingga bebas bea masuk. Vendor kemudian dicoret dari mitra logistik, tapi tidak diproses hukum karena bukti hanya didapat dari audit internal.
Perusahaan besar kadang menunda pembayaran meski vendor sudah memenuhi SLA. Dalih administratif dan verifikasi sistem dijadikan alasan, padahal hal ini bisa melumpuhkan arus kas vendor kecil.
📍 Kejadian Tahun 2022:
Vendor lokal yang menangani pengiriman e-commerce senilai Rp300 juta tidak menerima pembayaran hingga 3 bulan. Akibatnya, vendor gagal membayar gaji kurir dan memutus hubungan kerja. Tidak ada pengembalian kerugian karena kontrak tidak mencantumkan penalti keterlambatan pembayaran.
Reputasi perusahaan: Mengungkapkan masalah ini dianggap bisa merusak citra.
Asimetri kekuasaan: Vendor kecil takut bersuara karena khawatir kehilangan kontrak.
Kurangnya perlindungan hukum untuk whistleblower.
Audit vendor yang bersifat formalitas tanpa investigasi mendalam.
Sistem Vendor Management Digital (e-VMS): Transparan, auditable, dan efisien.
Audit Vendor Berbasis ESG (Environmental, Social, Governance): Tidak hanya soal performa, tapi juga etika dan keberlanjutan.
Penerapan e-Tendering dan e-Contract: Minimalkan interaksi manual dan potensi gratifikasi.
Kontrak dengan Pasal Anti-Abuse dan Penalti Keterlambatan Pembayaran.
Sertifikasi Vendor Tahunan: Mirip ISO, tapi dikembangkan internal perusahaan.
Vendor management di Indonesia tidak cukup hanya dengan sistem dan SLA. Diperlukan budaya bisnis yang berani membongkar praktik-praktik yang tidak sehat demi membangun sistem logistik nasional yang adil, transparan, dan berkelanjutan.
Perusahaan yang berani membuka ruang diskusi soal isu-isu ini akan memiliki posisi moral dan bisnis yang lebih kuat di masa depan—karena kepercayaan adalah aset dalam rantai pasok.
Penulis: VM